Masyarakat Respons Negatif Politik Uang

Tanjungpinang (ANTARA Kepri) – Panitia Pengawas Pemilu Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau menilai, masyarakat memberi respons negatif terhadap politisi yang memberikan uang atau barang untuk mempengaruhi pemilih.

“Masyarakat  semakin cerdas menggunakan hak pilihnya. Mungkin ada yang mau menerima uang ataupun barang yang diberikan politisi, tetapi penerima barang atau uang belum tentu akan memilih politisi tersebut,” kata anggota Panwaslu Tanjungpinang, Ridarman Bay, Minggu.

Ia mengungkapkan, politik uang berpotensi terjadi pada Pilkada Tanjungpinang tahun 2012, karena mungkin masih ada calon wali kota dan wakil wali kota yang beranggapan, uang mampu mendorong orang  untuk memilihnya, padahal pemilih yang cerdas menilai negatif atas sikap politisi tersebut, meski sulit untuk menolak pemberiannya.

“Masyarakat yang cerdas tidak akan terpengaruh dengan uang Rp50.000-Rp100.000 yang diberikan politisi tertentu, karena mereka tahu satu suara yang dimiliki lebih berharga dari uang,” ujarnya.

Selain melanggar hukum, kata dia, praktik politik uang juga berpotensi menimbulkan konflik politik. Konflik kemungkinan dapat terjadi jika calon wali kota dan wakil wali kota yang kalah menemukan pelanggaran berupa politik uang yang dilakukan kandidat yang terpilih.

“Politik uang, kampanye hitam dan penggunaan fasilitas negara merupakan tiga permasalahan yang dapat memicu  konflik,” katanya.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Suradji mengatakan, politik uang merupakan momok yang ditakuti politisi bersih, sebaliknya bagi politisi kotor, praktek “money politics” merupakan kesempatan emas meraup suara rakyat.

“Masyarakat secara umum masih sangat memerlukan “‘uluran tangan”‘ sehingga ketika ada politisi yang mengulurkan bantuan dan dibarter dengan suara yang mereka miliki, maka sesungguhnya telah terjadi politik uang. Praktik “‘money politics”‘ tidak semata-mata dengan memberikan uang, tetapi dengan cara memberi atau mengiming-imingi sejumlah materi untuk mendapatkan simpati masyarakat sehingga berujung pada terpilihnya sang calon,” ungkap Suradji.

Politisi yang suka memberikan uang jauh dari kata tulus, karena biasanya dalam praktiknya mereka menggunakan dana pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut bisa jadi perorangan atau perusahaan dan bisa juga dengan menggunakan uang rakyat melalui dana APBD atau APBN.

Dengan menggunakan uang pihak ketiga tersebut maka sesungguhnya sudah mulai terjadi perselingkuhan antara pengusaha dangan calon penguasa. Kompensasi yang diharapkan oleh pihak ketiga adalah barter kebijakan yang tentu diharapkan memberikan keuntungan bagi pihak ketiga sebagai penyumbang dana.

“Dalam sistem demokrasi praktek-praktek seperti ini dikutuk oleh banyak pihak terutama oleh penggiat demokrasi. Rusaknya demokrasi pada zaman orde baru salah satunya disebabkan oleh praktek-praktek politik uang yang terselubung maupun yang dilakukan secara terang-terangan,” ujarnya.

Admin Isu Kepri

Read Previous

\”Komunitas Kepri Mengajar\” Didik Anak Kurang Mampu

Read Next

12 Makanan Penurun Kolesterol Jahat