Menjaga Momentum Kesalehan individu dan Sosial

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…Walillahilhamd.

Keagungan ajaran Islam sebagai pemberi rahmat kepada seluruh alam semesta, telah ditunjukkan Allah SWT di tempat yang mengadakan majelis jemaah salat I”‘ed ini. Marilah kita bangun kesadaran dalam jiwa kita, sesungguhnya kita yang berbaris bersaf-saf dalam keragaman dan kemajemukan. Mulai dari keragaman etnis suku bangsa, kaya miskin, tua-muda, pejabat tinggi-pejabat rendah, rakyat ningrat-rakyat jelata, semuanya berkumpul menjadi satu, dalam berpakaian warna-warni, tanpa merasakan ada perbedaaan. Hanya ketaqwaan seorang hambalah yang membedakan derjat kemuliaan antar-hamba kepada al-Khaliq, Sang Pencipta.

Sesungguhnya orang yang mulia di sisi Allah adalah orang-orang yang bertaqwa. (QS: 49 (al-Hujrat) : 13)

Semua kita yang hadir di Shalat I’ed dipersatukan oleh satu kalimat agung dan mulia, sebagai komitmen kita untuk bersaksi atas pengakuan hanya Allah Azza Wajala sebagai satu-satunya zat tempat menyembah dan meminta pertolongan, Asyhadu alla Ilaha illallah. Kemudian, kita juga bersaksi, bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang mempersatukan dan mempertautkan persaudaraan sesama umat Islam, Wa Asyhadu anna Muhammadu ar-Rasulullah.

Tujuan kesaksian kita menghadiri Majelis Shlat I’ed adalah semata-mata untuk mencari rido Allah SWT untuk merayakan kemenangan atas perjuangan sebulan penuh menahan hawa nafsu dalam menjalankan ibadat puasa. Kemudian, kita mengiringinya dengan membayar zakat fitrah, sebagai sarana untuk mensucikan diri kita agar kembali kepada fitrahnya, tanpa noda dan dosa.

Dalam pensucian diri, kita diajarkan untuk melakukan silaturrahim, saling maaf memaafkan atas kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat, disengaja atau tidak disengaja, yang pernah melukai atau menggores hati saudara kita. Utamanya, antara seorang istri dengan suaminya, antara seorang anak dengan ayah dan ibunya, antara seorang keluarga dengan tetangganya, atau seorang bawahan kepada atasannya, atau kepada siapa pun yang dapat kita sampaikan permohonan maaf.

Beruntunglah orang-orang yang mensucikan dirinya, Dan merugilah orang-orang yang mengotorinya. (QS :91 (asy-Syam) : 9-10).

Allahu akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…Walillahilhamd.

Tanpa disadari, puasa Ramadhan yang kita laksanakan selama sebulan penuh, akan berlalu. Waktu terasa begitu cepat berlari meninggalkan kita. Puasa sebagai medan perjuangan untuk menahan hawa nafsu sebagai upaya memperbaiki ladang amal ibadah kita sebagai hamba/abdun, Allah al-Khaliq, Sang Maha Pencipta, terasa begitu sebentar masanya.

Maka berbahagialah dan beruntunglah hamba-hamba Allah yang mentarbiyah (mendidik/melatih) hatinya sepenuh waktu dengan hati tulus dan ikhlas, penuh kehati-hatian dengan kalkulasi yang cermat pada bulan Ramadhan. Allah SWT akan membalas kepada hamba-hambanya untuk mendapatkan ampunan/magfirah dari Allah SWT.

Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan penuh dengan keimanan dan kehati-hatian, maka, akan diampunkan Allah dosa-dosanya pada masa lalu, (al-Hadist).

Sebaliknya, bagi orang-orang yang berpuasa hanya menahan rasa haus dan lapar saja, tanpa mempuasakan hati dan jiwanya kepada Allah, maka, ganjaran yang diperolehnya hanyalah rasa haus dan lapar semata.

Sebagian dari orang-orang berpuasa tidak memperoleh sesuatu kecuali hanya rasa haus dan lapar. (Al-hadist).

Puasa juga memberikan pilihan-pilihan kepada setiap hamba untuk melakukan amal perbuatan yang terbaik bagi dirinya. Di dalam al-Qur”‘an Allah berfirman akan menguji hamba-hamba-Nya untuk melakukan amal perbuatan yang terbaik di sisi-Nya.

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS : 67(al-Mulk):2).

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…Walillahilhamd.

Salah satu hikmah dan keutamaan/fadilah bagi orang-orang yang menjalankan ibadat puasa Ramadhan, Allah SWT akan memberikan derjat taqwa, al-muttaqin. Yaitu, sebuah harapan bagi orang-orang yang berprestasi dalam menjalankan rangkaian ibadah secara tekun, ikhlas dan penuh harap mendapat rido Allah SWT.

Persoalannya, seberapa besar atau seberapa kuat komitmen kita agar mampu menjaga momentum Ramadhan agar nilai-nilai keimanan yang telah kita raih, tetap terpelihara dalam diri kita, jauh lebih penting untuk kita wujudkan. Sebab, meneruskan dan melanjutkan sesuatu amal perbuatan yang baik secara konsiten dan terus menerus, adalah sesuatu medan perjuangan yang lebih besar.

Harus kita akui, mencari dan meraih derajat ketaqwaan saat Ramadhan, tidaklah mudah, akan tetapi, jauh lebih sulit untuk mempertahankannya setelah di luar bulan Ramadhan. Alasannya, dalam suasana Ramadhan banyak sekali kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT, seperti, syaitan dibelenggu, sementara pintu rahmat, pintu magfirah dan pintu terlepas dari api neraka, terbuka selebar-lebarnya.

Suasana Ramadhan semua umat menjadi satu, tumpah ruah untuk mencari rido Allah SWT. Pintu masjid, surau atau musola, terbuka 24 jam. Bacaan al-Qur”‘an tak henti-hentinya dikumandangkan. Tausiyah/pengajian ajaran Islam disyiarkan di berbagai tempat, termasuk di kantor-kantor, hotel, bahkan dari rumah ke rumah. Silaturrahim berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dengan mengundang para kaum du”‘afa, fakir miskin dan anak yatim piatu, untuk saling berbagi atas rezki yang kita miliki.

Media massa pun tak mau ketinggalan. Semuanya serba islami. Presenter atau pembawa acara berpakaian sopan menutup aurat. Lagu-lagu yang ditampilkan semua berbau religi. Hotel-hotel dan restoran pun menwarkan suasana islami. Bahkan, warung-warung penjual makan dan minum kagetan pun tak mau ketinggalan untuk berusaha menyesuaikan, meskipun di siang hari ada juga sebagian membuka warungnya dengan menutup separo tertutup ruangannya dengan kain.

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…Walillahilhamd.

Bagaimana menjaga momentum pasca Ramadhan, agar nilai-nilai kebajikan yang telah kita raih tetap tersemai dan bersemayam dalam jiwa kita, pilihan utama kita adalah bagaimana menguatkan keimanan dan ketaqwaan kita secara konsisten, istiqamah dan teguh. Ketika seseorang telah berupaya menguatkan keimanannya dalam kehidupannya sehari-hari, tentu akan berbeda dengan orang-orang yang lemah imannya dalam aktivitasnya sehari-hari.

Dengan kata lain, tidak sama antara orang-orang beriman dengan yang tidak beriman. Al-Qur”‘an begitu indah melukiskan ciri-ciri orang beriman dan bertaqwa kepada Allah sebagaimana termaktub dalam pesan al-Qur”‘an dalam surat al-Anfal ayat 2-4.
Ciri-ciri orang beriman adalah :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka bertambah kuat imannya dan hanya kepada Allah mereka bertawakal. (Ayat:2)

Kemudian, mereka melaksanakan solat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang telah diberikan oleh Allah SWT.

Yaitu, orang-orang yang melaksanakan salat dan yang menginfakkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. (ayat : 3)

Kelima cirri itulah sejatinya orang-orang beriman dalam prilaku hidupnya dalam kehidupan masyarakat.

Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derjat tinggi di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki nikmat yang mulia. (ayat : 4).

Bila kita rumuskan secara sederhana, maka, cirri-ciri orang beriman itu dapat dilihat dari dua dimensi.
Pertama, dimensi individu atau kesalehan individu, yaitu hablumminallah, hubungan kepada Allah SWT. Setiap individu harus menggantungkan hatinya untuk senantiasa mengingat Allah, zikrullah, secara kaffah, sempurna, untuk menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya Rob, tempat kita menyembah dan meminta pertolongan. Tanpa ragu-ragu dan tak ada tawar menawar.

Kedua, dimensi sosial, yaitu suatu bentuk prilaku berbuat baik kepada sesama manusia, atau kesalehan sosial, yaitu, hablumminannas, hubungan sesama manusia.

Ditimpakan atas mereka kehinaan dimana saja mereka berdiam kecuali jika mereka berpegang teguh dengan/atau kepada tali agama Allah dan tali perjanjian dari manusia… (QS:3(al-Imran) : 113).

Dengan demikian, keimanan dan ketaqwaan serorang hamba haruslah seimbang antara urusan dunia dan urusan akhirat. Di sinilah letak fundamental tujuan dari syaria”‘at Islam (maqashid asy Syari”‘ah) yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Alqur”‘an mengingatkan :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana allah telah berbuat baik kepada mu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS : 28 (al-Qashah : 77).

Dalam sebuah riwayat dijelaskan,
Dari Anas RA, bahwanya Rasulullah SAW telah bersabda : bukanlah yang terbaik di antara kamu orang yang meninggalkan urusan dunianya karena mengejar urusan akhiratnya. Dan bukan pula orang yang terbaik orang yang meninggalkan urusan akhiratnya karena mengejar urusan dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah perantara yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban orang lain.

suprapto

Read Previous

Hasil Liga Premiere Inggris, Selasa 23-08-2012

Read Next

Tarekat Tijaniyah Sah, Ajaran Sumarna Sesat