Waspadai, Politik Uang di Pemilukada Tanjungpinang

Keprihatinan mendalam terhadap keberlangsungan demokrasi di tingkat lokal adalah menguatnya transaksi politik. Bagai candu, transaksi politik ini telah menyebar ke urat nadi dalam kehidupan demokrasi lokal, mulai dari pemilihan Kepala Desa, pemilihan Kepala Daerah, pemilihan wakil rakyat hingga pemilihan Presiden.

Tak heran, dalam setiap even Pemilihan untuk membentuk pemerintahan di daerah dibutuhkan amunisi yang cukup besar. Agar dapat mengantarkan para kandidat ke kursi tampuk kekuasaan.

Seyogyanya, harapan terdepan dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada), secara kelembagaan masih berada di pundak partai politik. Sayangnya, lembaga politik ini masih hanya sekadar menjadi kendaraan bagi elit politik untuk bisa maju menjadi kandidat kepala daerah. Hanya sekadar memenuhi prosedur demokrasi.

Dan karena masih sebagai bagian dari prosedur demokrasi itulah, maka lembaga politik ini kemudian melakukan transaksi politik atas pola rekrutmen kandidat para calon. Bukan atas dasar visi, misi dan kemauan politik, ataupun kebijakan atas platform politik.

Fenomena itu menggejala dimana-mana. Rakyat menyaksikannya dengan senyum manis, tapi sinis. Kemudian, belajar dari perilaku itulah, maka transaksi jual dan beli suara lantas menggurita. Menyelam sampai urat nadi kehidupan demokrasi lokal di tanah air. Sayangnya, belum ada obat mujarab yang dapat memulihkan kondisi yang sudah terlanjur remuk ini.

Demokrasi Transaksional

Berbicara tentang demokrasi politik, maka kita tidak bisa lepas akan bagaimana kekuatan uang bermain dalam ranah politik itu sendiri. Menurut Teten Masduki (kompas, 8 mei 2008) mengatakan bahwa Kekuatan uang dalam politik nasional semakin menunjukkan pengaruh yang luar biasa. Pengaruh itu dapat kita saksikan dalam bekerjanya fungsi-fungsi parlemen dalam hubungannya dengan pemerintah, institusi Negara, dan sektor swasta. Tidak kalah kuatnya juga dapat dirasakan dalam dinamika politik internal partai politik (parpol), khususnya dalam penentuan calon partai dalam pemilu atau pemilukada.

Mengapa kekuatan uang memegang peranan penting? Yang nyata, menurut Sukiman (2010) adalah untuk membiayai parpol dan kampanye memerlukan biaya yang besar. Dalam sistem pemilukada sekarang cost (biaya) politik yang harus dikeluarkan untuk pemenangan lebih mengarah kepada kas kandidat, bukan partai sehingga praktis mereka harus memperluas sumber pendanaan. Kandidat kepala daerah yang sebagian melamar parpol peserta pemilukada harus mengeluarkan ongkos yang berlipat untuk memenangi sebuah konvensi internal partai dan untuk masa-masa kampanye. Meski sekarang calon perseorangan (independen) dalam pemilukada sudah dimungkinkan, tidak dengan sendirinya biaya politik akan berkurang banyak, karena mereka akan menghadapi pemilih dan kekuatan parlemen yang terlanjur digerakkan oleh uang.

Politik dan Uang adalah candu. Politik yang mengarah pada kekuasaan akan menjadi candu yang meninabobokan. Gejalanya nampak pada betapa kekuasaan tak ingin dilepas begitu saja dari lingkaran penguasa. Penguasa yang berdasarkan Undang-undang sudah tak boleh lagi mencalonkan diri, maka diusunglah istri atau suami, anak dan kerabat dekat. Muaranya tentu saja adalah bagaimana mempertahankan sumber-sumber ekonomi yang memang memabukkan. Sementara, rakyat diberi pelajaran tentang pragmatisme demokrasi. Yang berujung pada jual beli suara.

Bisa kita lihat pemerintah dan pimpinan yang terpilih secara demokratis meyakini bahwa mereka, dan hanya merekalah, yang memegang kedaulatan absolut dan menyusun kembali kekuasaan dan kepentingan mereka. Meskipun, seringkali dengan cara-cara inkonstitusional dan sering berakibat serius bagi rakyat mereka sendiri. Terbungkus topeng legitimasi, mereka seringkali mengutip hak mereka untuk menggunakan demokrasi sebagai suatu cara memperoleh kekuasaan, tanpa peduli kekuasaan tersebut digunakan untuk kepentingan siapa atau untuk melawan apa?

Menguatnya Rasionalitas Demokrasi

Demokrasi yang sehat dengan semboyan oleh, dari dan untuk rakyat, barangkali hanya ada pada panggung sandiwara politik. Semboyan itu mulai mengalami masa-masa kritis dan menuju titik nadir yang paling rendah. Sehingga, mudah sekali diingat dan dihafalkan, namun betapa sulit untuk diwujudkan.

Semestinya, perhelatan Pemilukada dapat berjalan sesuai dengan harapan. Yakni menguatnya demokrasi lokal, dimana rakyatlah (masyarakat) yang berhak membentuk pemerintahan di daerah. Oleh karena suara mereka merupakan legitimasi akan berkuasanya seseorang atau justru tereleminasi. Dengan demikian, sesungguhnya rakyatlah merupakan sumber legitimasi langsung atas terpilihnya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Kepala Daerah. Sebagai sumber legitimasi, maka didalamnya terdapat tanggungjawab yang besar.

Bukan hanya persoalan memberikan suara pada saat pencoblosan di hari pemungutan suara, namun bagaimana mereka mampu mengawal pemerintahan agar berjalan sesuai dengan track dan koridor peraturan dan perundang-undangan. Sesuai dengan janji-janji politik dalam menawarkan visi, misi dan program mereka untuk membangun daerah dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, lahir maupun batinnya.

Sesungguhnya, ada dua hal yang mendasari pentingnya pelaksanaan Pemilukada sebagai bagian dari proses demokratisasi. Pertama, adanya jaminan legitimasi rotasi kekuasaan sebagai pemangku mandat rakyat. Sehinga terjamin pula hak-hak rakyat dalam memberikan tugas dan wewenangnya kepada sang mandataris secara elegan, dengan harapan mampu memberikan feedback dengan adanya kemajuan dalam pembangunan daerah, yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Jaminan adanya rotasi kepemimpinan dalam Pemilukada merupakan hak politik rakyat dalam menilai kinerja para pemangku mandat tersebut, apakah masih dapat berlanjut untuk periode kedua, atau dicukupkan hanya untuk satu periode saja. Tentu rakyatlah yang bisa menilai.

Kedua, adanya pembatasan lamanya berkuasa bagi sang pemangku mandat rakyat. Yakni cukup dua periode kekuasaan secara berturut-turut. Bahwa dengan pembatasan masa bhakti itu diharapkan dapat menjamin terciptanya iklim yang sehat bagi proses demokratisasi dan terjadinya refreshing kekuasaan. Pengalaman menunjukkan, bahwa tiadanya pembatasan masa bhakti tersebut, semakin memberi peluang terperosoknya sang penguasa ke dalam KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Substansi itulah yang hendak dicapai dengan adanya pembatasan masa bhakti bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.

Kita bisa saksikan di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, berapa banyak Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) yang tak sempat menghabiskan masa bhaktinya dengan khusnul khotimah. Bahkan terjerat oleh kasus-kasus yang justru meruntuhkan nama baiknya di mata rakyat.

Kita berharap, agar berbagai pelajaran yang membentang di pelupuk mata, tentang kerja-kerja demokrasi di Negara ini terjadi perubahan yang dramatis. Yang jelas, hendaknya berawal pada adanya perubahan mindset pada tokoh-tokoh masyarakat dan elit kekuasaan, bahwa politik transaksional sudah tidak mampu menghasilkan demokrasi yang sehat. Justru kian mengajarkan kepada masyarakat untuk terus berpusar pada lingkaran ’setan’ pragmatisme politik yang menjerumuskan ke lembah nista.

Alih-alih, diperlukan sebuah gerakan sosial dan budaya untuk mengembalikan mindset masyarakat yang terkena candu transaksional itu, menuju ke rasionalitas demokrasi. Bahwa pemimpin tak melulu dicetak dengan uang, tapi justru lebih berdasarkan pada kapabilitas, kompetensi dan akuntabilitasnya. Sementara moralitas berada di garda terdepannya. Apakah dalam pemilukada Tanjungpinang mampu memilih pemimpin yang memiliki kapabilitas, kompetensi dan akuntabilitas?. Wallahu’alam bishawab! (sec)

iwan

Read Previous

Walikota : Balik ke Batam Jangan Bawa Pendatang

Read Next

Motif Politik di Isukan Aksi Penembakan Pos Polisi di Solo