Ekosistem Laut Kepri Semakin Kritis

BATAM, IsuKepri.Com — Ekosistem sebagai sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya di laut Kepri semakin kritis. Ancaman abrasi, pencemaran lingkungan dan limbah menjadi faktor yang berperan dalam rusaknya ekosistem laut.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Edi Wan menyatakan, ekosistem laut didukung oleh karang, bakau dan pasir. Ketiga ekosistem ini saling mendukung, jika salah satunya rusak maka akan mengancam kerusakan ekosistem lainnya.

Keberlangsungan kehidupan karang diantaranya ditentukan oleh hewan karang. Hewan ini sangat sensitif dengan pencemaran dan limbah.

Jika hewan karang yang biasa menempel di karang merasa tidak nyaman, ia akan pergi meninggalkan karang. Akibatnya karang akan rapuh dan tidak akan mampu menopang ekosistem laut lainnya.

Limpahan limbah yang terjadi di laut diakibatkan oleh berbagai aktifitas, baik industri, alat transportasi seperti kapal dan tanker serta aktifitas penduduk. Sementara kebanyak industri-industri yang ada di Batam maupun Kepri jarang memiliki tempat pengelolaan limbah di darat.

“Rata-rata, limbah industri mengalir bebas ke laut. Laut ibarat tong sampah paling besar bagi limbah,” kata Edi Wan dalam Seminar Perbatasan di Pulau Putri, Sabtu (22/12/12) yang digagas Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA Kepulauan Riau.

Menurut Edi Wan, setiap tahunnya ada sekitar 365.500 ton limbah di laut Kepri. Maka tidak aneh jika laut menjadi dangkal tertimbun sampah yang tercampur limbah.

Transportasi dari kapal dan tanker, rata-rata mengeluarkan minyak dan limbah yang larinya akan tetap ke pantai. Di tepi-tepi pantai, terutama di pulau yang berbatasan dengan negara tetangga, tidak jarang ditemui limpahan limbah kental, licin berwarna hitam. Termasuk di Pulau Putri, pulau terluar di Batam yang merupakan tapal batas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Jika tidak diantisipasi, tidak menutup kemungkinan Batam akan seperti pantai Utara Jakarta,” katanya.

Mengalirnya limbah-limbah ke laut, menyebabkan ikan, tumbuhan dan karang mati. Hewan laut seperti ikan, kuncinya pada insang dan akan tertutup jika terkena limbah.

Begitupun dengan tumbuhan laut seperti hutan bakau. Tidak adanya hutan bakau di sekitar perairan akan menyebabkan limbah tidak bisa terurai. Ini akan menjadikan perairan mengalami pengurangan kesuburan, yang ditandai dengan menurunnya jumlah ikan.

“Tahun 1980-an, Kepri merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia. Sekarang tidak masuk lagi dalam catatan, akibat berkurangnya kesuburan laut dan ilegal fishing,” ungkapnya.

Ketidaksuburan ekosistem laut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi. Dan memicu abrasi pada pulau-pulau kecil yang ada di Provinsi Kepri.

“Terdapat sebanyak 4.208 pulau di Provinsi Kepri. Dengan kondisi saat ini, diperkirakan dalam 10 tahun ke depan 10-15 persennya hilang akibat abrasi,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Batam, Dendi Purnomo menyatakan, proses pembangunan yang mengabaikan dampak lingkungan telah menyebabkan punahnya tegakan mangrove di Kota Batam. Pada tahun 1990, tegakan mangrove di Kota Batam mencapai 27% dari luas Pulau Batam 1.500 kilometer persegi. Kini, luas tegakan mangrove menyusut drastis hingga 23%.

“Saat ini tegakan mangrove di Kota Batam tinggal 4% saja dari sebelumnya 27%. Sedangkan tegakan hutan di Batam tinggal sekitar 14,6%,” ungkapnya.

Menurut Dendi, berkurangnya tegakan mangrove hingga 23% disebabkan adanya proses pembangunan. Terutama reklamasi yang terjadi di sejumlah wilayah pesisir pantai di Kota Batam dan pengembangan industri, seperti industri galangan kapal (shipyard).

Hingga saat ini, terdapat sebanyak 127 izin industri shipyard yang telah diterbitkan Badan Pengusahaan (BP) Batam, sebagai institusi pemberi izin pengalokasian lahan. Selain untuk industri, izin untuk kawasan perumahan di pesisir pantai seperti kawasan Ocarina juga menjadi penyebab hilangnya hutan mangrove di Batam.

Punahnya tegakan mangrove dan hutan di Kota Batam memang sangat kritis. Hutan Batam belum mencapai hutan primer saat pembangunan mulai dilakukan.

Di daerah timur Batam, kawasan Nongsa, hampir tidak ada lagi tanaman mangrove. Karena ekologinya yang berpasir, sementara mangrove akan tumbuh subur di daerah dengan ekologi tanah berlumpur.

Apalagi dengan karakteristik Pulau Batam yang berpasir dengan lapisan humus yang dangkal. Begitu juga dengan kultur hutannya, kering, bukan tropis basah.

“Dengan karakteristik seperti itu, ekosistem hutan Batam sekali hilang tidak akan pernah tumbuh lagi,” jelas Dendi.

Mengatasi ancaman punahnya mangrove di seluruh kawasan perairan di Kota Batam, Dendi mengaku bahwa Pemerintah Kota Batam telah melakukan sejumlah kebijakan. Diantaranya mewajibkan penanaman 2 hektar mangrove atas setiap hektar penebangan mangrove yang digulirkan sejak 2008.

“Pemerintah Kota Batam memiliki komitmen, minimal 30% untuk mempertahankan hutan di setiap pulau. Sekarang komitmen ini meningkat menjadi 37 persen, karena sekali hilang hutan, tidak bisa diharapkan lagi untuk tumbuh,” katanya. (eki)

iwan

Read Previous

Polda Kepri Kerahkan 2.112 Personel Untuk Amankan Perayaan Natal dan Tahun Baru

Read Next

Pancasila Perekat Kerukunan Umat Beragama