LANGKAH BIJAK SUKU BANGSA MELAYU DEMI BHINEKA TUNGGAL IKA DAN KEUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Muh. Arifin, 2016

Mungkin tidak ada yang mengira, pada Tanggal 8 Februari 2016 dari mulut seorang Effendi Muara Sakti Simbolon yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang terpilih untuk ketiga kalinya dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mewakili Dapil DKI Jakarta III dan saat ini (2014-2019) bertugas di Komisi I yang membidangi luar negeri, informatika dan pertahanan mengeluarkan kata-kata yang memancing kemarahan masyarakat Indonesia khususnya suku bangsa melayu.

Sebuah statmen yang dianggap melecehkan suku melayu pernyataan ini dikeluarkan atas komentanya mengenai berabungnya Partai Pendung Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung pemerintah atau Koalisis Indonesia Hebat yakni Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Pernyataan tersebut berbunyi ketiga partai itu memakai konsep demokrasi ala melayu sehingga tidak punya idealisme. “Mungkin demokrasi ala melayu begitu ya. Enggak punya idealisme. Kan beda kalau zaman dulu ada ideologi. Kalau sekarang pragmatisme, transaksional semua (Effendi) sebagaimana dilangsir dalam media online merdeka.com (http://www.merdeka.com/politik/demokrasi-ala-melayu-jalan-tuhan-bikin-korupsi-dekati-jokowi.html).

Penyataan seperti ini jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, nilai Kebhinekaan Tunggal Ika, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pernyataan seperti ini jelas mengandung unsur SARA, dan penyataan Effendi MS Simbolon dapat mengancam Negara Kesatuan Negara Kesatuan Repbulik Indonesia apabila penyataan ini tidak segera disikapi dengan bijak. Hal ini terlihat dari rekasi dari lembaga adat melayu (LAM), tokoh-tokoh melayu dan organisasi atau masyarakat melayu. Berikut ini adalah beberapa kritik keras dari lembaga adat melayu (LAM), tokoh-tokoh melayu dan atau masyarakat melayu yang dilangsir dari beragai liputan media online. Keritik ini muncul dari dua daerah Riau dan Kepulauan Riau yang merupakan daerah yang cukup banyak di huni oleh suku bangsa melayu dan tempat berdirinya kerajaan-kerajaan melayu nusantara sebelum Indonesia merdeka.

Pertama keritik dari Kepulauan Riau, Seorang Budayawan sekaligus Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau Bapak Husnizar Hood adik dari pendiri Provinsi Kepulauan Riau. Menanggapi pernyataan Efendi Ia mengatakan sebagai sebuah pelecehan tak mendasar Ini sangat melukai kami. Bahkan Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau-pun (Abdul Razak) dengan pernyataan yang sama juga menilai bahwa “Bagaimana mungkin bisa menilai Melayu secara demikian, berujar di depan publik meurutnya, memang harus berhati-hati, karena dapat melukai orang lain secara tidak sadar.

Menrut Husnizar Hood Analogi yang digunakan juga tidak mencerminkan realitas sebenarnya. Bahkan pernyataan kerasnyapun terlontar “Berapa besar negeri melayu ini menyumbang untuk periuk nasi orang Jakarta dan bangsa ini, kalau kalian terus-menerus menganggap Melayu itu rendah mungkin sebaiknya kami berpisah menjadi negara Melayu sebenarnya, tegasnya” Pernyataan seperti ini tentu akan mengancam keutuhan NKRI, dan pernyataannya bukan tanpa dasar mungkin hal ini didasari bahwa: pertama, suku melayu tidak seperti yang dituduhkan oleh Effendi dan peryataannya mengandung unsur SARA karena menurut Budayawan ini “Negeri Melayu ini menerima dengan terbuka suku-suku lain berkerja cari makan dan beranak-pinak di sini tanpa pernah melukai perasaan mereka,” Kedua, adanya sumbangsi bangsa Melayu kepada Indonesia yang begitu besar karena bahasa pemersatu yakni bahasa Indonesia, bahasa yang lahir dari Kepulauan Riau yakni dari seorang Raja Ali Haji seorang penulis kamus dan tata bahasa melayu.

Ketiga, adanya sumbangsi minyak dan gas dari ujung utara Kabupaten Natuna yang paling besar untuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), (lihat http://batampos.co.id/read/2016/02/10/34886/Efendi-Simbolon-Sebut-Politik-Melayu-Tak-Punya-Idealisme-Masyarakat-Kepri-Marah#sthash.DN6H1Eaq.dpuf).

Kedua, Keritik dari Provinsi Riau, Provinsi penyumbang minyak terbesar untuk APBN dan daerah eksportir sawit terbesar di Indonesia. Abdul Wahid seorang Putera Melayu sekaligus anggota DPRD Riau sangat tersinggung dengan pernyataan tersebut Kami sebagai bagian dari anak Melayu, tentu sangat tersinggung. Memang sampai di mana pengetahuan Effendi tentang Melayu, sampai berani mengeluarkan pernyataan demikian. Kalau ada tidak senang dengan satu pihak, jangan merendahkan orang Melayu secara keseluruhan,” Wahidpun sudah mengumpulkan tokoh muda Melayu untuk menyampaikan somasi kepada politisi PDIP tersebut (lihat http://www.goriau.com/berita/gonews-group/dinilai-rasis-politisi-riau-kecam-pernyataan-effendi-simbolon.html).

Pernyataan yang sama dan cukup keras juga muncul dari Ketua Umum Dewan Pembina Harian Lembaga Adat Melayu Riau Bapak Al Azhar , melalui media online riaunews.com menurutnya bila ucapan itu lahir dari anggapan laten yang tertanam di benaknya, maka dia patut dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan demi keutuhan bangsa,(Al Azhar) (lihat http://www.riaunews.com/beritautama/lam-riau-nilai-effendi-simbolon-lecehkan-budaya-melayu/).

Pernyataan seperti Effendi Simbolon jelas melupakan makna-makna yang tertuang dalam Kebhinekaan Tunggal Ika dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bhineka Tunggal Ika Terlupakan
Keberadaan nilai-nilai persatuan jelas tertuang dalam makna Bhineka Tunggal Ika. Adanya suku dan agama yang berbeda di Indonesia adalah wujud perbedaan yang harusnya dimaknai sebagai kekuatan dan kekayaan Indonesia. Bahkan dalam makalah Turita Indah Setyani (2009), yang disampaikan dalam Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi Profesi Pengajar Bahasa, Sastra, Budaya, dan Seni Daerah se-Indonesia mengungkapkan bahwa sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika‖ sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila.

Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular: Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa, bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn, mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga adalah semboyan yang harus dipegang teguh dalam kehidupan bermasyrakat berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Ungkapan seperti Effendi Simbolon sepertinya memang mesti harus lebih banyak mendalami kembali falsafah bangsa agar tidak melupakan makna-maknanya seperi yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika itu sendiri.

Negara Kesatuan Republik Indonesia Taruhannya
Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 satu-satunya hal yang tak mungkin dilakukan perubahan atau direvisi lagi adalah yang menyangkut tentang NKRI. Pada BAB XVI Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar pasal 37 ayat 5 berbunyi bahwa khususnya bentuk negara republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Sebegitulah pentingnya NKRI sehingga pasal ini mengisyratkan tidak ada lagi perubahan.

Namun apa jadinya jika daerah-daerah yang dulu dan sekarang dihuni oleh suku bangsa melayu memisahkan diri apakah ada yang sanggup menghalanginya. Kalimantan, Jambi, Palembang, Bangka-Blitung, Riau dan Kepulauan Riau semuanya adalah bagian Negara Kesatuan Republik yang berperan besar dalam perekonomian Indonesia dan posisinyapun sangat dekat dengan negara tetangga seperti Malaysia. Memang pernyataan yang menggandung unsur SARA adalah kejahatan yang luar biasa khususnya di Indonesia dan Pernyataan yang terlontar dari Effendi Simbolon tersebut memang mempertaruhkan keutuhan NKRI apabila tidak ada sikap dan tindakan yang diambil secara bijak…

Cukup minta maaf
Beginilah reaksi para suku bangsa melayu yang memang terkenal keramahannya. Vallentijn (1712 M) yang diakses dari (https://yulinuriislamiah.wordpress.com/2013/01/19/kearifan-kebudayaan-lokal-masyarakat-melayu/) menyebutkan bahwa memang orang Melayu sangat cerdik, sangat pintar dan manusia yang sangat sopan di seluruh Asia. Juga sangat baik, sopan-santun, lebih pembersih dalam cara hidupnya dan pada umumnya begitu rupawan sehingga tidak ada manusia lain yang bisa dibandingkan dengan mereka, pada umumnya mereka pengembira.

Tidak hanya itu, bahkan suku bangsa ini sangat terkenal dengan toransi dan hidup dalam kerukunan. Memang memang begitulah realitanya, dan hal ini terbukti dari sikap bijaknya dalam menyikapi persoalan Effendi Simbolon. Hampir semua media yang meliput tentang kasus ini meraka meminta Effendi Simbolon untuk minta maaf. Bahkan hal ini mereka lakukan agar tidak menimbulkan perpecahan. Tidak banyak permintaan ! cukup minta maaf tegasnya. Begitulah ungkapan singkat dari pengurus Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau.

Bahkan ungkapan itu terdengar langsung oleh telinga saya dan melihat secara langsung dengan kedua mata saya hal ini diungkapakan ketika menanggapi usulan dari saya untuk ditempuh jalur hukum. Pernyataan ini diungkapkan pada saat saya audiensi bersama teman-teman organisasi BEM FE UMRAH, BEM STISIPOL, FAM UMRAH, KAMMI, FPI Tanjungpinang dan Himpunan Mahasiswa Islam kepada pengurus LAM Kepulauan Riau di Aula lembaga adat melayu Kepulauan Riau.

Saya berfikir sikap ini bukan sekedar bentuk bijak dari tokoh suku bangsa melayu demi Bhineka Tunggal Ika dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi lebih dari apa yang tidak bisa saya bayangkan, sikap seperti ini mungkin karena Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sudah melebur menjadi satu, sehingga membentuk dan membeku dalam jiwa-jiwa mereka menjadi keperibadian yang sangat luar biasa. Semoga sikap ini terus ada dan tetap menjadi pemersatu bangsa Indonesia ditengah keberagaman ini !!!.

suprapto

Read Previous

Nurdin : Lingga Akan Jadi Kabupaten Hebat

Read Next

Lawan Longsor, BPBD Pasang Spanduk di Seraya Atas