Makna Kembalinya Aleppo

Oleh: Dinna Wisnu, PhD, Pengamat Hubungan Internasional

Pembunuhan Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrey Karlov, Senin lalu sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa proses evakuasi yang tengah berlangsung di Aleppo Timur, Suriah akan terganggu. Rusia dan Turki dengan segera mengambil sikap yang konstruktif bahwa pembunuhan tersebut adalah tindakan teroris dan mencoba menganggu kerjasama yang dibangun antara Turki-Rusia-Iran dalam menyelesaikan krisis yang terjadi di Aleppo Timur.

Pembunuhan tersebut nampaknya justeru akan semakin menguatkan kerjasama antara negara-negara yang selama ini dikenal saling bertolak belakang dalam kebijakan luar negeri terkait dengan Suriah. Minggu-minggu ke depan terutama saat masa lame duck di Amerika Serikat hingga pelantikan Donald Trump sebagai Presiden di bulan Januari 2017, adalah masa yang kritis bagi penyelesaian masalah di Suriah dan wilayah lain yang saat ini sedang mengalami konflik. Apabila para pihak di lapangan yang bertikai secara langsung dapat melakukan negosiasi dan menghasilkan keputusan yang dapat diterima semua pihak, maka kita bisa berharap masalah di Suriah dapat selesai sebelum Presiden baru Amerika Serikat memiliki pertimbangan lain yang dapat menimbulkan ketidakpastian baru di Suriah.

Masa lame duck di Amerika Serikat adalah masa ketika Presiden yang berkuasa saat ini, Barack Obama, sudah tidak dapat mengeluarkan keputusan yang bersifat strategis karena Presiden terpilih hasil pemilu, Donald Trump, belum mendapatkan mandat sampai nanti disumpah sebagai Presiden di bulan Januari nanti. Artinya Presiden Obama tidak dapat mengeluarkan kebijakan terkait perkara politik luar negeri kecuali bila hal itu benar-benar menganggu kepentingan keamanan dan pertahanan dalam negeri Amerika Serikat.

Seandainya pun tidak dalam masa lame duck, apakah Obama memiliki kebijakan yang akan progresif terkait dengan Suriah? Menurut saya tidak juga. Obama memiliki beban politik karena janji di masa kampanye untuk tidak mengirim pasukan secara fisik ke Suriah seperti yang dilakukan Amerika Serikat sebelumnya di Irak, AFganisthan, Libya dan negara lainnya. Beberapa kali Obama mengancam atau minimal membuat persepsi bahwa Amerika Serikat akan turun tapi ternyata tidak. Misalnya, ketika Obama mengancam Suriah akan mendapat konsekuensi serius apabila Suriah menggunakan senjata kimia atau tindakan yang melewati garis batas yang dapat memprovokasi militer Amerika. Ketika ada penggunaan senjata kimia yang diklaim oleh kelompok moderat dilakukan oleh pemerintah Suriah, Obama ternyata tidak bertindak seperti yang ia ucapkan. Obama tampaknya lebih ingin menggunakan tangan lain seperti PBB atau organisasi HAM internasional untuk membentuk opini tentang situasi di Suriah dan menerjemahkan opini itu menjadi dukungan untuk menekan secara mendalam Suriah.

Terlepas dari itu, Dalam transisi kepresidenan di Amerika ini, tampak terlihat bahwa Amerika Serikat dan Sekutunya, dijauhkan dalam perundingan yang melibatkan Rusia, Turki dan Iran. Bertemunya tiga negara ini adalah sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan , khususnya karena Iran dan Turki , sebagai dua negara yang mendukung langsung para pihak yang berperang di lapangan dan selalu saling menghujat di panggung diplomasi internasional.

Buah dari kerjasama tiga negara ini adalah dikuasainya kembali Aleppo Timur oleh Tentara Arab Suriah. Terdapat dua narasi yang berkembang terkait dengan situasi tersebut. Narasi pertama adalah pandangan yang menyatakan bahwa penguasaan kembali Aleppo Timur adalah tragedi kemanusiaan karena mengakibatkan korban yang tidak bersalah akibat serangan membabibuta pihak Pemerintah Suriah yang dibantu oleh Rusia dan Iran. Pandangan ini terutama disuarakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya di Barat termasuk PBB.

Narasi kedua adalah pandangan yang menyatakan sebaliknya bahwa kembalinya Aleppo Timur ke tangan Pemerintah Suriah telah menyelamatkan puluhan ribu orang yang selama ini dipenjara oleh kelompok Radikal seperti ISIS, Jabhat Fatah al-Sham ,Al-Nusra Front dan beberapa kelompok radikal lainnya.

Saya tidak mengetahui narasi mana yang lebih mendekati kebenaran namun saya menyakini bahwa sebuah perang terjadi karena buntunya sebuah perundingan dan sebaliknya, sukses dari perundingan adalah sebuah perdamaian. Hal ini sudah dibuktikan oleh perundingan antara kelompok pemberontak moderat dengan pemerintahan Suriah pada tanggal 15 Desember yang lalu yang saya sebut sementara ini sebagai Perundingan Aleppo.

Isi penting dari Perundingan Aleppo adalah diijinkannya penduduk sipil dan kelompok-kelompok pemberontak di Aleppo Timur yang saat ini terpojok untuk mengungsi ke provinsi Idlib yang masih dikuasai oleh pemberontak. Sebaliknya, penduduk di desa Foua and Kefraya yang beraliran Syiah di Provinsi Idlib juga diijinkan untuk mengungsi ke Aleppo atau wilayah lain yang aman. Pertukaran ini diperkirakan akan mengurangi korban jiwa dari penduduk sipil di Aleppo dan provinsi Idlib karena mereka dapat berlindung di wilayah-wilayah yang lebih aman.

Secara politik dan militer, perundingan pertukaran ini telah melemahkan kekuatan kelompok radikal yang menolak berpartisipasi dalam perundingan tersebut. BBC (19/12) melaporkan kelompok Jabhat Fatah al-Sham yang berafiliasi ke Nusra Front telah membakar bis-bis sebagai upaya menghambat pengungsian warga sipil. https://goo.gl/y1pQ4Z Perundingan pertukaran warga sipil dan pemberontak itu pun telah menyulut peperangan diantara kelompok pemberontak jihad Jabhat Fath al-Sham berhadapan dengan kelompok pemberontak moderat yaitu Islamist Ahrar al-Sham. Perselisihan dua kelompok pemberontak yang moderat dan radikal ini juga dapat menjadi satu indikasi kemajuan dalam upaya mencapai proses perdamaian di Suriah. Selama ini kelompok pemberontak moderat, yang mendapat bantuan dari CIA, enggan untuk berkelahi dengan kelompok radikal karena di lapangan hanya kelompok radikal yang bersedia berperang sampai mati. https://goo.gl/PTD6FJ

Dengan kata lain, perjanjian evakuasi ini dapat gagal sewaktu-waktu apabila kelompok radikal tetap terus melakukan sabotase dengan melalukan pembakaran dan penyerangan. Saat ini Turki mengatakan sudah lebih dari 20 ribu orang yang terdiri dari kelompok pemberontak dan warga sipil telah tiba dengan selamat di provinsi Idlib dan masih ada sekitar 30 ribu orang lain yang masih menunggu untuk diungsikan. Sementara Utusan Khusus PBB Staffan de Mistura memperkirakan 50 ribu orang dimana 10 ribu diantaranya adalah pemberontak, terjebak di 4 dari 5 wilayah yang masih dikuasai kelompok pemberontak.

Perjanjian evakuasi antar penduduk yang menyebabkan kembalinya Aleppo kepada Pemerintah Suriah memiliki dua implikasi diplomasi internasional. Pertama bahwa perundingan tiga negara, Rusia, Turki dan Iran dapat menjadi alternatif dari perundingan yang selama ini melibatkan negara-negara lain yang tidak berkepentingan langsung dengan stabilitas politik regional. Banyak negara dan pihak justru membuat kepentingan para pihak yang bertikai menjadi tenggelam oleh kepentingan negara dan pihak-pihak lain. Akibatnya tidak ada jalan keluar yang dapat disepakati.

Arti penting kedua, perundingan tiga negara tersebut kemungkinan akan mengamputasi keterlibatan pihak-pihak yang tidak berkepentingan secara langsung terhadap perdamaian di Suriah. Meski demikian, pertemuan tiga negara ini , khususnya Iran dan Turki, jangan dianggap sebagai sudah adanya perdamaian di antara ke dua negara. Kedua negara masih memiliki sejumlah persoalan yang harus diselesaikan seperti kecurigaan Turki tentang kemampuan Iran membuat senjata Nuklir, penolakan Iran atas pemasangan Radar Pemantau Senjata Balistik, posisi kedua negara yang masih bertolakbelakang dalam perang di Yaman, atau penolakan Iran atas intervensi Turki di Irak yaitu di Bashiqa, Utara Mosul. Saya berpendapat bahwa Kesepakatan Iran dan Turki di Aleppo hanyalah untuk kepentingan jangka pendek.

Arti penting terakhir dari jatuhnya Aleppo ke tangan pemerintah Suriah telah membuat kredibilitas Rusia semakin positif karena dapat memisahkan kelompok-kelompok pemberontak yang moderat dengan kelompok teroris seperti ISIS , Al-Nusra Front, Al-Qaeda dan kelompok radikal lainnya. Selama ini perundingan yang berjalan antara Rusia, Amerika Serikat, PBB dan kelompok-kelompok lain gagal untuk memisahkan antara kelompok pemberontak yang moderat dengan kelompok yang radikal. Kegagalan itu mengakibatkan upaya mencapai perdamaian atau minimal untuk gencatan senjata agar bantuan kemanusiaan dapat tersalurkan tidak pernah terjadi.

Momen perdamaian yang mungkin hanya singkat ini harus perlu dijaga dan mungkin diperluas ke wilayah-wilayah lain di Suriah. Indonesia tidak memiliki kepentingan secara langsung baik politik dan ekonomi di kawasan tersebut namun sebagai negara yang merdeka kita harus tetap menyuarakan prinsip bahwa penyelesaian kawasan harus tumbuh dari dalam wilayah kawasan itu sendiri dan tidak dicangkokkan oleh para pihak di luar yang mungkin memiliki kepentingan lain yang bertolakbelakang dengan kepentingan para pihak yang bertikai. Oleh sebab itu, kita perlu terus menerus dan tanpa lelah mempromosikan perdamaian melalui cara-cara perundingan dan menghindari sejauh mungkin menggunakan kekerasan. Dengan demikian, perdamaian yang dicapai akan lebih stabil dan memiliki dampak positif di masa depan. (sumber: FPCI, Sindo)

Redaksi

Read Previous

Resensi Novel “Ayat-Ayat Cinta 2”

Read Next

Pencopotan Jabatan Lamen Sarihi Dari Ketua DPRD Bintan Sudah Tepat