Tabayyun di Tengah Gempuran Hoax

Oleh: Arifuddin Jalil, S.Ag, M.I.Kom

Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kepri

Sejak beberapa bulan terakhir, kata hoax semakin akrab diperbincangkan khususnya kalangan pengguna media sosial atau netizen. Bahkan tidak sedikit di antara kaum muslim ikut memproduksi hoax hingga turut mendistribusikannya. Sering kita tidak sadar bahwa  secara langsung maupun tidak langsung kita telah menjadi bagian dari pelaku hoax.

Aktivitas bermedsos ria berpotensi menjadi kebiasaan buruk ketika seseorang tidak mampu memilih dan memilah informasi yang digenggamannya adalah hoax atau informasi yang tidak akurat atas kebenarannya. Hal tersebut terjadi karena kehidupan dunia nyata dan dunia maya sudah sulit dipisahkan, serta beberapa penyebab mendasar lainnya.

Hoax adalah berita palsu, bohong yang disebarluaskan melalui media sosial dan media lainnya dengan tujuan untuk menipu. Bahkan tidak sedikit berita bohong yang ditebar kepada pengguna media sosial tersebut dijadikan alat untuk memprovokasi, menebar kebencian, serta berbagai ujaran negatif lainnya. Ujaran-ujaran kebencian, fitnah begitu muda kita temukan pada ponsel pintar, yang berada di genggaman netizen.

Ruang dan waktu, tidak lagi membatasi aktivitas kita sebagai pengguna ponsel pintar. Kapan dan dimana saja kita berada, secara umum ponsel itu selalu akrab dengan pemiliknya. Apakah mereka sedang berada di rumah, perjalanan, tempat kerja bahkan berada di rumah ibadah. Ponsel itu sering berdering dan diotak atik.

Perilaku memproduksi dan menyebarkan berita bohong atau hoax tentu menjadi akhlak yang buruk. Sebagai umat manusia, khususnya umat Islam dilarang keras terlibat dalam penyebaran informasi bohong tersebut. Bahkan kita diminta waspada, cermat dan teliti dalam memperoleh infomasi tersebut.

Tabayyun menjadi ajaran Islam yang sangat mulia dalam menghadapi gempuran hoax tersebut. Ikhtiar dalam mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas keadaannya. Meneliti dan menyeleksi suatu berita yang kita terima adalah menjadi bagian penting untuk memastikan akurat atau shahihnya suatu informasi. Penerima informasi tidak boleh tergesa-gesa dan ceroboh menyebarkan suatu berita kepada pengguna informasi lainnya, seperti mengshare melalui whatsapp, facebook, dan beberapa media sosial lainnya.

Dalam Al-Quran QS Al-Hujurat ayat 6, Allah SWT berfirman,  Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.

Tabayyun adalah akhlak mulia yang seharusnya menjadi prinsip penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Sebagai upaya menjaga kehidupan sosial yang damai, baik antar umat manusia maupun sesama muslim itu sendiri, maka tabayyun menjadi penting hadir pada setiap sisi kehidupan manusia. Permusuhan, perpecahan kerap terjadi di tengah masyarakat karena absennya perilaku tabayyun tersebut. Perilaku cermat dan teliti dalam menerima informasi hoax terkadang tidak hadir dalam kehidupan individu manusia.

Padahal begitu banyak kisah-kisah kehidupan sebelumnya yang patut kita jadikan renungan atau pelajaran tentang bahaya tidak hadirnya upaya tabayyun dalam menerima informasi. Tanpa tabayyun, seseorang akan mudah menuduh orang baik dan bersih dengan dusta. Hal tersebut bisa dilihat melalui tuduhan atau fitnah keji yang dialamatkan kepada istri Rasulullah SAW, Aisyah ra.  Ia telah dituduh dengan tuduhan palsu oleh Abdullaah bin Ubai bin Salu. Aisyah ra difitnah telah berbuat selingkuh dengan seorang lelaki bernama Shofwan bin Muathal. Padahal bagaimana mungkin Aisyah ra akan melakukan perbuatan itu setelah Allaah swt memuliakannya dengan Islam dan menjadikannya sebagai istri Rasulullaah saw.

Abdullaah bin Ubai bin Salul gencar menyebarkan kebohongan yang menyebabkan beberapa  penduduk Madinah sempat terpengaruh dengan informasi menyesatkan tersebut. Tanpa tabayyun, koreksi dan teliti, mereka ikut menyebarkannya hingga penduduk Madinah terpengaruh dan hampir mempercayai berita tersebut. Tuduhan ini membuat Aisyah ra goncang, bahkan dirasakan pula oleh Rasulullaah saw dan mertuanya. Akhirnya Allaah swt menurunkan ayat yang isinya mensucikan dan membebaskan Aisyah ra dari tuduhan keji tersebut. Dalam QS An Nur  ayat 11-12, Allah swt berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu  bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula). Kemudian pada ayat 12 juga disebutkan, Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata,

Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah saw, Aisyah ra, setelah perang dengan Bani Mustaliq pada bulan Sya’ban 5 H. Peperangan itu diikuti kaum munafik dan turut pula Aisyah ra dengan Nabi saw berdasarkan undian yang diadakan di antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. Aisyah ra keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu Aisyah ra pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan  bahwa Aisyah ra masih ada dalam sekedup. Setelah Aisyah ra mengetahui bahwa sekedupnya sudah berangkat, dia duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedupnya kembali menjemputnya. Tidak lama kemudian, kebetulan lewat salah seorang sahabat Nabi, Safwan ibnu Mu’attal, ditemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan, inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, istri Rasul Aisyah terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Safwan mengendarai untanya. Safwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas desus. Kemudian kamu munafik membesar-besarkannya, maka fitnah atas Aisyah ra itu pun bertambah luas sehingga menimbulkan keguncangan di kalangan kaum muslimin.

Allah swt memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu tabayyun dalam menghadapi berita yang disampaikan kepadanya agar tidak menyesal di kemudian hari. Sebab meninggalkan tabayyun dapat menimbulkan kesalahpahaman, permusuhan bahkan pertumpahan darah. Perselisihan dan pertengkaran itu terjadi karena tidak cermat dan telitinya seseorang menerima informasi. Keteledoran dalam menerima informasi tidak hanya terjadi pada zaman atau era teknologi saat ini. Seperti pada peristiwa yang menimpa istri Rasulullah saw, Aisyah ra tersebut di atas menjadi penting kita waspadai agar tidak menimpa diri seorang muslim. Pada zaman Rasulullah pernah terjadi pertumpahan darah ketika Rasulullah saw mengutus Usamah bin Zaid ra ke medan perang. Saat terjadi peperangan,  pasukan Usamah bin Zaid ra berhasil mengepung musuhnya hingga tidak bisa melarikan diri. Saat itulah, salah seorang lawannya menyerah dan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah. Namun Usamah bin Zaid ra tetap menghujamkan tombak kepada salah seorang lawannya  hingga dia tewas.

Setelah pulang dari medan perang, Nabi saw mengetahui kabar itu. Rasulullah saw marah kepada Usamah bin Zaid ra karena ia telah membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallaah, hingga Nabi saw bertanya Apakah engkau telah teliti dengan jelas (tabayyun) sampai ke lubuk hatinya bahwa ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah itu karena ia takut senjata dan ingin melindungi diri….dst?.

Begitu bahayanya ketidakhati-hatian dalam menerima informasi, serta ketidakcermatan dalam mengamati suatu kejadian atau peristiwa. Tentu dampak yang ditimbulkan tidak hanya sekedar menimbulkan rasa malu, namun sangat berpotensi menimbulkan korban penghilangan nyawa seseorang. Memang perilaku berbaik sangka terasa makin mahal dan sulit kita temukan saat ini. Media sosial dan media-media lainnya selalu diwarnai dengan informasi ketidaksenangan pada seseorang atau lembaga dan organisasi tertentu. Dan tidak jarang kita mendengar bahwa ada sekelompok mengorganisir secara massif terkait penyebaran informasi bohong tersebut.

Keresahan terhadap informasi-informasi yang tidak berkualitas itu tidak hanya dirasakan oleh masyarakat awam. Tapi kelompok elit, seperti penguasa, birokrat, tokoh ulama, akademisi dan masyarakat sering menyampaikan keprihatinan-keprihatinannya. Sebagai masyarakat pengguna informasi, maka sudah sepatutnya memiliki komitmen bersama dan menjadi prinsip penyedia dan penyebar informasi yang diyakini tingkat akurasinya cukup tinggi, termasuk validasi data yang benar, dan informasi bisa menginspirasi seseorang untuk melakukan amal kebaikan. Kita tahu bersama bahwa masih banyak informasi atau berita berharga yang tersebar diluas di sejumlah media yang kredibel. Media informasi yang penanggungjawabnya berintegritas, serta memiliki kapasitas dalam memproduksi, mengelola dan menyebarluaskan informasi.

Sebagai terapi terhadap sikap tiada tabayyun, maka perlu untuk senantiasa meningkatkan iman dan taqwa. Sebab hanya kekuatan iman dan taqwalah kita mampu membedakan antara yang haq dan batil. Kemudian bersahabat dan bertemanlah dengan komunitas yang senantiasa melakukan tabayyun. Hal ini penting agar memberi manfaat pada diri sendiri untuk senantiasi kritis, cermat dan teliti terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Kemudian yang lebih penting lagi hadir dalam diri kita adalah senantiasa berprasangka baik terhadap sesama umat manusia. Insya Allah hidup ini semakin damai, tentram, aman dan sejahtera. Wallahu a’lam bisshawab.***

suprapto

Read Previous

Pakai Sabu, Mantan Dosen UK Di Tangkap

Read Next

Litbang IsuKepri Lakukan Pooling Online Pilwako Tanjungpinang