Kisah PNS Pemprov Kepri yang Sendirian Menggugat Gubernur dan Sekda di Kantor Ombudsman Jakarta

Catatan Ramon Damora (Ketua PWI Kepri), dibagikan melalui aplikasi whatsapp:

Kisah PNS Pemprov Kepri yang Sendirian Menggugat Gubernur dan Sekda di Kantor Ombudsman Jakarta.

TENGAH pekan ini saya menerima pesan japri dari seorang wartawan senior ibukota.

Bung, kau tahu tidak ada aksi protes seorang PNS Kepri di Kantor Ombudsman Jakarta? Kata wartawanku di lapangan, aksi itu sudah berlangsung hampir dua minggu lho.

Tentu saja saya agak terperangah. Membaca kembali pesan lewat whatsapp itu beberapa kali, dan lantas, hanya terdiam. Tercungap-cungap.

Tahu saya belum memberi reaksi apapun, si pengirim pesan, Mas Teguh Santosa, General Manajer Rakyat Merdeka Online (rmol.co), menyerbu lagi dengan pesan-pesan baru.

Wahduh, masih mau mengaku Ketua PWI Kepri yang katanya vokal itu? Bantu rakyatmu di Ombudsman itu, Bung Penyair. Sendirian mereka. Kata anak-anak, pakaiannya hari ke hari sama, mulai kumal, tapi semangatnya juara. Susah jinakinnya ini.

Di kalangan pewarta generasi saya, nama Teguh Santosa disebut dengan segan. Dia mantan aktivis mahasiswa, jurnalis militan, pernah masuk penjara, kini bos salah satu media online terbesar di tanah air.

Mas Teguh juga sering dipanggil Duta Besar. Setelah merampungkan tesis doktoralnya tentang Korea Utara,  kiprahnya meroket sebagai dosen, pengamat, sekaligus penghubung yang paling menguasai seluk-beluk kemitraan Indonesia-Korut. Plus, belakangan, Korea Selatan.

Bila kini banyak yang memanggilnya Ketua, itu setelah beberapa hari lalu Teguh Sentosa terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Organisasi media online terbesar yang turut diprakarsai Chairul Tanjung, Ilham Bintang, Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra, dll.

Seminggu lebih saya bersama ketua saiber kita ini tahun lalu meliput suasana konflik perbatasan Korsel-Korut, saya happy saja dengan komentarnya yang memang kerap pedas. Tapi kali ini, japri Mas Teguh soal demo warga Kepri di Kantor Ombudsman itu benar-benar menohok hati.

Tak putus di kata-kata. Pak Dubes Teguh juga mengirim link berita rmol.co tentang aksi protes PNS Kepri itu di hari-hari pertama. Satu berita. Dua berita. Tiga berita. Cukup! sela saya membalas pesan berisi link-link berita itu. Teguh Santosa hanya menjawabnya dengan emoticon bergambar muncung nyengir.

*
Ya, harus saya sela cepat-cepat bombardir link pemberitaan dari Teguh Santosa itu. Tiga link saja sudah cukup rasanya buat menempeleng muka sendiri: hallo, Pers Kepri, sehat? Normal?

Mengapa peristiwa jurnalistik semenggugah ini luput dari radar media massa kita di sini? Di kampung sendiri? Bukankah demo berhari-hari warga Kepri di halaman kantor institusi negara sesakral Ombudsman RI sudah jadi garansi news-value sebuah berita? Apalagi ternyata dia seorang PNS yang aktif pula?

Baiklah. Kita ngaku. Kekurang-pekaan ini amatlah keliru. Dan itu bisa diperbaiki dengan cara menebusnya melalui publikasi yang gencar kembali ke tengah publik sesuai filosofi dan ideologi media masing-masing. Atau, boleh jadi juga, rasanya kita tidaklah keliru-keliru amat. Mengapa?

Teguh Santosa dari rmol.co yang medianya lebih dahulu akrab dengan aksi warga Kepri di Jakarta ini, dan juga sangat berpengalaman di dunia pergerakan, sudah kasih kata kunci: mental pelaku aksinya juara, susah dijinakkan. Ini dia.

Setelah bersusah payah, akhirnya saya terhubung dengan nama PNS itu, nama yang lumayan familiar: Roma Ardadan.

Kata Roma, mereka sekarang sudah sulit mempercayai siapapun.

Awalnya ia datang ke kantor Ombudsman RI bersama sejumlah besar mahasiswa. Tapi satu per satu tumbang. Bukan karena kelelahan. Melainkan dirayu pihak-pihak tertentu pakai uang.

Siapa? Ya, satu dari nama-nama calon wakil gubernur yang beredar itulah, katanya. Datar, tapi tegas.

Nama lengkapnya, Muhammad Roma Ardadan Julica. Bulan Juli ini genap usianya 36 tahun. Masih muda. Berkarir panjang. Jabatannya sekarang Kasi Wira Usaha Dinas Koperasi dan UKM Kepri.

Mengabdi sebagai pamong sejak tahun 2005, nama Roma dulu berkibar sebagai ring satu alm HM Sani pada  periode awal kepemimpinannya menjadi Gubernur Kepri. Belakangan, nama Roma Ardadan tenggelam. Pernah terdengar sebagai Ketua PSSI Kepri, lalu hilang lagi.

Di mata rekan-rekan sepantarannya, Roma dikenal sebagai mantan aktivis mahasiswa yang dulu saat bergulirnya reformasi tahun 1998 cukup punya pamor di kalangan mahasiswa asal Tanjungpinang yang kuliah di Pulau Jawa, terutama Bali. Ia lasak dari dulu.

Itu sebabnya HM Sani  semasa hidup langsung jatuh hati padanya. Merangkul Roma sebagai pamong muda kepercayaan. Bahkan untuk bernegosiasi dalam urusan-urusan rumit di luar pemerintahan. Roma mengaku ia sesungguhnya tidaklah tenggelam benar.

Tak tahu kenapa. Aku selalu menikmati hari-hari berkumpul dengan mahasiswa, bertukar gagasan, sambil terus bertanya-tanya: apa sebenarnya yang sudah kita berikan untuk negeri ini sebagai pemuda Melayu sejati? Jangan-jangan nonsense, nol besar, Roma berkisah.

Menyandang status ASN di lingkungan Pemprov Kepri, Roma menyadari keberadaannya berhari-hari mengajak mahasiswa demo di Kantor Ombudsman RI, telah melanggar aturan kedisiplinan absensi pegawai. Tapi, ia sudah siap lahir batin dengan segala risiko. Bahkan sekalipun diberhentikan.

Aku hanya akan berhenti, pulang ke Tanjungpinang, memeluk keluarga, terutama si kecil yang sempat divonis dokter umurnya pendek karena mengidap penyakit langka, tapi alhamdulillah sampai hari ini sehat wal afiat, hanya apabila tuntutan kami diproses Ombudsman RI. Apapun hasilnya, kami terima. Yang penting, kami kawal terus sampai selesai. Titik.

Aliansi Mahasiswa Tarekat Indonesia (AMTI) Kepri, bendera organisasi yang diusung Roma Ardadan dan mahasiswa itu, secara umum melaporkan dua hal ke kantor Ombudsman.

Pertama, proses mutasi dan pelantikan para pejabat Pemprov Kepri sarat pelanggaran. Kedua, proses pengusulan nama-nama calon wakil gubernur juga mengangkangi aturan.

Gubernur dan Sekda Kepri, tambah Roma,  jelas sekali melakukan maladministrasi. Bahkan hasil investigasi Komisi ASN yang sengaja turun memeriksa detail-detail pelantikan pejabat di lingkungan Pemprov Kepri, baru-baru ini, secara tegas merekomendasikan bahwa proses itu banyak sekali yang tidak memenuhi aturan main yang berlaku.

Masak kita harus diam saja? Silakan Sekda menakut-nakuti orang dengan mengatakan bahwa hanya SDM di Karimun yang unggul, kami tidak takut. Malah semakin terlecut untuk membuktikan bahwa kami ini bukanlah anak jati Melayu yang sepengecut beliau kira, papar Roma lagi.

Hari Ahad besok, persis dua minggu sudah lamanya Roma Ardadan dkk menggelar aksi setiap hari di halaman Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan. Roma mengatakan, selama itu, ujian datang bertubi-tubi. Kantong cekak, tidur yang berpindah-pindah. Kadang mencari wisma murah, lalu pindah lagi dari satu rumah teman ke rumah kenalan yang lain. Makan pun kerap harus berbagi-bagi mie instan.

Adakah utusan Pemprov Kepri yang resah dan mendekati mereka? Roma tersenyum simpul, sebelum mengatakan, adalah, beberapa, malah bawa-bawa penawaran materi segala, tapi ya, percayalah, mereka tak akan mendapatkan kompromi apapun dari kami. Kami hanya budak-budak kecik, tak tau ape-ape, yang kami punye cume harga diri yang tinggal secebis…

Pelan-pelan, seraya diam-diam dalam hati saya mulai agak menaruh simpati pada pemuda ini, saya bertanya, seberapa besar ia dan rekan-rekannya meyakini bahwa segala keberanian –sekaligus penderitaan– yang mereka tempuh saat ini benar-benar mewakili aspirasi serta kepentingan masyarakat Kepri dalam skala yang luas?

Jawaban Roma Ardadan menarik. Dalam kasus mutasi jabatan di Pemprov Kepri, kata dia, kebenaran sebenarnya sudah berdiri tegak sebagai kebenaran. Indikatornya, rekomendasi Komisi ASN. Komisi resmi yang ditunjuk oleh negara untuk mewujudkan good governance.

Kalau tiba-tiba banyak orang bungkam dengan temuan Komisi ASN ini, Roma menyebut ia tidak perlu berkonsultasi lagi dengan pihak manapun untuk menanyakan, apakah bila dia demo itu mewakili kepentingan orang banyak atau tidak.

Atau, sambung Roma, apakah sebagai bawahan dia harus bersikap dengan seolah-olah menampilkan karakter salah kaprah yang selama ini terlanjur dilabeli pada diri setiap staf ASN: manut dan taat mengikuti garis komando? Kebenaran adalah tatkala atasan baru bilang, ya kamu benar. Apakah seperti itu kebenaran?

Tidak kan. Watak Melayu itu egaliter kok. Terbuka. Bebas tapi penuh tanggungjawab, ujarnya.

Sebaliknya, bila dirinya sampai hari ini masih berada di Jakarta, bukan karena kelak ingin diingat oleh atasan sebagai pegawai yang badung, pembangkang, pemberontak, tidak.

Aksi ini, kata dia, hanya sebuah peristiwa berdemokrasi yang biasa-biasa saja. Sama seperti dengan demo-demo lain yang dilakukan banyak orang.

Apakah karena yang dikritiknya adalah Gubernur dan Sekda yang kemana-mana ingin dilihat publik sebagai dua kekuatan baru dari Karimun yang tidak boleh disentil? Tak bisa begitu, kata Roma.

Roma menambahkan, ia hanya mau mencoba memberitahu satu hal kecil pada pemimpinnya. Satu hal sederhana yang ia warisi dari kearifan budaya Melayu. Raja alim disembah. Raja zalim disanggah.

Bila masyarakat ada yang setuju dengan saya, bahwa hari ini kita tengah diuji diberi pemimpin zalim, suka-suka hati, jangan ungkapkan setuju itu keras-keras. Cukup bisikkan saja dalam hati sambil mendoakan aksi kami ini diridhai Ilahi dan tak mengenal kata berhenti…

Amin.

Sekali lagi. Apakah kita sedang diuji diberi pemimpin zalim semena-mena? Seperti saran Roma, saya cukup menjawabnya dalam dada. Dan, tak terasa, jawaban di hati itu menjadi penanda obrolan asyik ini akhirnya harus berakhir.

Setelah bubar, saya melihat banyak jalan alternatif untuk bisa pulang sampai ke rumah. Banyak jalan menuju Roma, kata sebuah pepatah lama.

Tapi bagi Roma yang ini, Roma Ardadan si pegawai negeri kita, Roma budak Melayu yang tanpa pretensi apa-apa, tapi diam-diam sesungguhnya sedang menginspirasi lingkungannya,  barangkali memang hanya ada satu jalan yang harus kita tempuh sekarang. Jalan perlawanan.

Kalau Anda kebetulan berada di Jakarta, mampir sejenak ke halaman depan kantor Ombudsman RI yang luas di wilayah Jakarta Selatan itu. Roma sesekali mendirikan sebuah kemah kecil di sana. Tegur saja, bilang dari Tanjungpinang, Roma pasti senang. Cuma itu, katanya, yang bisa menghibur perjuangan yang akan sangat melelahkan. Dan, panjang.(*)

Redaksi

Read Previous

GP Ansor Kepri Minta Pemerintah Tegas Terhadap HTI

Read Next

Memperkuat Argument Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa